The Monopoly Game Secret (Novel) Prolog
“The Monopoly
Game Secret: Perjudian Hati Wanita”
(Nasib itu seperti guliran
dadu, kadang beruntung kadang tidak, dan terkadang bisa mengulang peristiwa
yang sama - Fanila)
Prolog
Gedung Hall
Corporation…
Hidup ini bak
bidak di atas hamparan lahan monopoli. Penuh perhitungan, persaingan, dan harus
berjalan hati-hati untuk mengungguli bidak lain. Sama seperti mata angka dadu
yang kita lempar. Kita takkan pernah tahu langkah apa yang akan kita ambil
selanjutnya. Bukankah
hidup itu tidak adil? Apa gunanya bekerja keras mati-matian tapi yang
beruntunglah yang menang? Bahkan, aku juga tidak
menyangka sahabatku sendiri akan berbalik menikamku.
Sejak satu jam silam, aku dan dia, sahabat lamaku, saling berkejar-kejaran dalam langkah. Semesta
wajahnya pekikan dendam kesumat. Tangan kanannya menggenggam pisau, mencengkeram kuat api amarah.
Ujung mata pisau terus itu menatapku,
mengikutiku kemana pun
aku melesat pergi.
Pandanganku terus berlarian, menelisik ke depan,
mengiringi jejak kaki hendak melangkah kemana. Tempat ini begitu remang, sulit
bagiku untuk leluasa melangkah. Kompasku hanya sorot mata rembulan yang menerobos masuk melalui celah jendela berlubang. Cahaya itu
bersimbah, membekas pada permukaan lantai untuk dijadikan pijakan kakiku.
“Galiiih, jangan kabur! Aku akan menghabisimu sekarang jugaaa...!!” lengkingnya berapi-api, seperti hilang akal.
Ia berteriak histeris, memasang topeng benci, tengah
berlari kencang menyapa jejak langkahku. Kini aku paham mengapa dia mencoba memburuku.
Karena ia tahu bahwa aku adalah batu kerikilnya. Satu lonjakan kecil, yang akan
membuatnya terjatuh. Betapa
tidak, lensa mataku hampir merekam semua kelakuan busuk antara dia dan
keluarganya. Mereka berlaku curang terhadap lahan-lahan itu. Ladang bisnis itu bukanlah milik mereka, melainkan punya orang lain. Banyak tanah yang telah mereka
rampas
secara paksa. Terlebih serfitikat-sertifikat itu, merupakan hasil manipulasi dari
rekayasa data-data palsu. Sekarang aku mengerti mengapa selama ini mereka berlaku baik terhadapku. Benakku sengaja
dikuasai, dan kini aku diibaratkan seperti bidak yang dikorbankan. Satu bidak permainan monopoli, untuk
dijadikan pion dalam menjalankan
aksi jahat mereka.
Langkahku terus melesat ke depan, lintasi lorong-lorong panjang
rangkaian gedung
kantor.
Begitu pula dengan bayangan kelabu di belakangku, ia laksana singa kelaparan,
terus mengendus aroma kental keberadaanku. Jantungku berdebar kencang, cepat
sekali. Aku sangat lelah,
terlalu letih dengan guratan skenario hitam permainan ini. Ingin kuakhiri semuanya, dan inilah waktu
yang tepat untuk menguak tabir kegelapan.
Semua bermula dari perjanjian dalam permainan itu. Suatu
persetujuan, dimana kami bentangkan kertas monopoli ke dalam kehidupan nyata.
Kami bertiga menjadi bidak, berjalan dengan hati-hati di atas hamparan
lahan-lahan bisnis. Sama seperti permainan monopoli, ada aturan-aturan dan hukum yang wajib ditaati. Dan
juga bagi yang berlaku curang, ia harus membayar satuan uang denda.
Satu alasan mengapa aku mau bergabung dalam permainan
ini. Karena hadiahnya begitu melucuti perhatianku, yakni alasan dasar cinta.
Sebagai imbalan bagi pemenang, dia boleh memboyong Kellyn sebagai tropi
kebesaran. Kellyn? Ya, satu-satunya anggota wanita dari Monopoly Quartet, kelompok kecil kampus yang terdiri dari empat
bidak. Pemenang akan dibentangkan karpet merah menuju satu titik piala
kebanggaan. Hanya dia, tidak boleh player[1] lain. Tak hanya itu, ia juga
dianugerahi tiket garansi. Satu tiket berjangka, bila sewaktu-waktu rencana gagal.
Maka kedua bidak yang kalah harus membantu, hingga
pemenang utama mampu mendapatkan hati wanita itu.
Kellyn, wanita itu ibarat racun. Membuai kami bertiga
dalam remang-remang fatamorgana cinta. Terlebih bibir basahnya, selalu
menggiurkan kami dalam pelukan hasrat manja. Namun ada satu yang awalnya tidak dapat ia baca. Ia tidak
tahu bahwa ia telah dipertaruhkan dalam ajang ini. Dia, Kellyn Staling, satu
teman cantik yang menjadi hadiah perjudian.
Mendadak tubuhku tergelincir, terpelanting ke permukaan lantai, ketika tetesan hujan tak
sengaja kukayuh. Sekejap, tatapanku melesat ke langit-langit, lekas beradu
pandang dengan pria itu. Tatap mata tajamnya membunuh terlebih dulu. Sedang di
ujung tangannya terhunus julangan belati kecil berkilau. Kecil tapi siap
membunuh.
Slettt!!!!!
Darah segar mengalir, kuasai sekujur belahan tangan kananku. Tanpa rasa takut,
tangan itu berhasil menepis kematianku. Ia menangkalnya, namun naas, justru ia
yang terluka. Terkoyak, membentuk luka yang cukup lebar. Tanpa berpikir
panjang, kutendang saja dada pria di depanku, merubuhkannya hingga jatuh
terpingkal-pingkal. Aku bangkit lagi, tapi terjatuh kemudian. Tampaknya aku
akan mati, dan sekali lagi, goresan belati menerjang kaku tubuh gemetarku.
Perlahan, aku katupkan kedua daun mataku ini. Terpancar jelas jutaan cahaya
dan kilapan impianku di masa silam. Ya, masa lalu yang menyilaukan akalku,
menggiringku pelan dalam berbagai kisah dan dinamika realita cinta. Kini hatiku pun mulai bicara. Apakah langkah hidupku berujung disini? Atau masih ada kocokan dadu
untukku
kembali
melangkah? Semoga angka dua anak dadu yang muncul serupa, agar aku dapat
melangkah lebih cepat dari mereka berdua, musuh permainan ini, saingan
perjanjian monopoliku.
[1] Player: Pemain yang
bertarung dalam ajang real monopoly.
Permainan monopoli yang dibentangkan ke dalam kehidupan nyata. Bersaing secara
bisnis, dan yang paling kaya adalah pemenangnya.
Komentar
Posting Komentar