The Monopoly Game Secret (Novel) Episode 1



Segunung hutang

Jakarta, 4 tahun silam...
Kringg!!! Kringg!!!
Deringan ponsel memanggil namaku, namun telingaku seakan bungkam, tak berpaling padanya. Celotehan teman di sebelahku itu, betul-betul menguasai relung anganku. Kami tetap mengayunkan kaki. Beringsut menyambangi mulut halte, hendak menunggangi bus menuju rumahnya, kediaman Jihan, sahabat yang kini tengah mengiringi langkah kakiku.
“Setelah pengumuman kelulusan, apa kau akan mendaftar di universitas yang sama denganku?” tanya Jihan di sela curah ceria suaranya.
“Tentu saja... Bukankah aku telah berjanji padamu?”
Kringg!!! Kringg!!! Teriakan lantang kembali mencuat dari arah celanaku.
Hingga ketika Jihan berhenti ucap, suara deringan itu makin menyeruak jelas. Sekejap, tangan kananku menelusup ke lorong saku celana jeans-ku.
“Hallo, ada apa?” tandasku sigap, sambil beralih benak ke suara telepon.
“Rumahmu Lih, rumahmu! Satu jam lagi harus dikosongkan..!!” geger keluh dari balik speaker ponsel, suara Aldo, sahabat se-komplekku yang kediamannya tepat di depan tatapan rumahku. 
Ponsel bak pedang itu kusarungkan kemudian, lalu mataku berpaling pada Jihan sejenak. “Maaf, tapi aku harus segera pulang. Aku akan berkunjung ke rumahmu lain kali.”
Mata kokohnya mengarah padaku. Lalu, sepasang mata kami saling berpapasan. Membuat waktu seakan berhenti, menjadi canggung seketika. Ia lepas senyum kecil, sedang kakiku mundur selangkah, coba lesapkan perasaan kaku di antara kami berdua. Sejujurnya, aku sudah menaruh hati padanya sejak lama. Namun dengan selusin tahun yang kami rajut, tak dapat kulemparkan perasaan cinta ini. Hingga ia tak dapat menangkap satu pun asmara yang kulambungkan untuknya.
Aku pun berbalik arah, berpindah tujuan ke halte lainnya, sekaligus mulai merenggangkan jarak dengan gadis itu. Sambil mengayunkan lambaian tangan, langkah kakiku pun perlahan makin menjauhinya. Entah mengapa, rasanya ‘dadahan’ ini seperti ucapan perpisahan untuknya. Hembus detik inilah, saat detakan jantungku ini mulai goyah. Nyatanya kini adalah detik-detik memoar terakhir kebersamaan ini.
Ketika langkah kaki menjajaki pekarangan rumah, bingkai mataku menyorot kuat-kuat ke depan. Menembus berlapis benda tersara-bara, tergeletak di beranda rumah bak berlian kusam. Hatiku terguncang, saat menatap barang-barang kesayanganku dibuang, dicampakan begitu saja seperti onggokan sampah. Apalagi ketika melirik ke pintu utama, lalu di atasnya tertanda lantang rambu peringatan, tertulis ‘disita’. Disitulah, semua perasaanku kian berkecamuk hebat. Tampaknya roda kehidupan telah berputar. Kami yang dulu dikaruniai kesejahteraan, kini terseret dalam pusaran kesengsaraan.
Pintu gerbang berdesah pelan, tanda seseorang telah tiba. Sepertinya dia ayahku yang baru saja selesai bekerja. Tampak dari bayangan besar yang datang, lalu memakan bayang kelabu diriku. Pandanganku menoleh ke belakang, hendak menyambut wajah yang datang. Ternyata dia adalah Om Johan, ayahnya Aldo. Namun ia tiba dengan memajang paras lesu.
“Om, apa kau melihat ayahku?”
“Kurasa para polisi itu membawanya ke kantor pusat.” ungkap Om Johan menaruh tangannya di pundakku, “Maaf, apakah bisnis kalian sudah tak tertolong lagi?” timpahnya kembali.
Jiwaku mendelik, aku belum memahami apa yang ia lafalkan.
“Sepertinya begitu..” ucapku tidak tahu apa-apa.
Benarkah bisnis ayah gagal?
Tapi, mengapa ia tak  pernah menyinggung masalah ini?
Pernyataan itu datang silih berganti, menyayat perih seisi otakku. Namun aku tetap bergeming, tak sangka lembaran kisahku malah berganti lusuh.
Dua jam berlalu tanpa makna. Langkah kakiku pun kian berat menuju sel-sel tahanan. Tak kupercaya, ayahku hidup di bawah atap tak bercahaya. Berjalan di tengah lorong sel gelap menumbuhkan rasa risau dalam batinku. Terlebih aku akan berkunjung ke ruang tahanan ayahku sendiri. Setelah menelisik ke segala penjuru, kudapatinya tengah berdekap lutut di sudut ruangan. Kuhampirinya, lalu kupegang lirih gigi-gigi sel tahanan yang dingin. Matanya tersibak lebar, wajahnya menyorot pilu. Kemudian ia dekati aku, menyambutku dari balik jeruji besi.
“Apa yang terjadi? Mengapa papa bisa berada disini? Lalu, apakah isu itu benar?” ucapku dengan mata berkaca-kaca, “Jadi bisnis papa bangkrut?”
“Maaf tak memberitahumu lebih awal. Papa tak bisa melunasi semua hutang-hutang perusahaan. Itu sebabnya papa harus membayarnya dengan hukuman ini.” balasnya bersuara pelan, kepalanya ia rundukan sejenak, “Kau harus menyelamatkan diri. Pergilah pada Taylor Hall, ia akan membantumu.”
“Taylor Hall?”
“Ya, dia adalah partner bisnis papa. Kau harus ikut bersamanya ke Amerika, lalu jalani hidupmu seperti biasa. Kau tak perlu menanggung semua beban ini.”
“Tidak! Aku akan melunasinya bagaimanapun caranya.” gertakku penuh keyakinan, padahal aku tak tahu jalannya.
“Jangan bodoh! Hubungi saja nomor yang aku sms tadi siang!”
Bibirku membisu, tak membalas ucapannya. Pergi, sambil membawa beban berat di hati. Aku kesal, teramat kesal, sebab tak mampu berbuat apa-apa. Apa yang harus kulakukan? Mungkinkah melamar pekerjaan, atau harus meminjam uang untuk mendanai bisnis baruku. Tapi, kedua jalan yang terbentang adalah beban berat bagiku. Karena tindakan itu tak cukup untuk membayar tumpukan hutang yang telah menggunung.
***
Kakiku bergulir lambat, menyelusuri setiap pesisir gedung pancang bumi. Mataku memandang kosong ke depan, hanya mengikuti kaki hendak mengarah kemana. Kini aku tak punya rumah, tak pula punya kerabat. Aku juga tak punya keberanian untuk tinggal di rumah teman-temanku. Bagaimana bisa aku bermuka tebal, harus mengemis inap disana-sini. Bahkan sejak tadi perutku makin bergejolak, terus berteriak memekikkan keresahan.
Sambil menahan gemuruh lapar, ponselku berdering lantunan kecil. Kukira ada yang tengah menghubungiku, rupanya itu adalah bunyi dari mode alarm. Suara alarm memberikanku pertanda, mengapa tidak kujual saja ponsel milikku ini? Entah mengapa pikiranku kini menjadi kian sempit. Untuk makan saja sulit, apalagi harus membayar gundukan bukit hutang.
Sepertinya aku harus mendengarkan kata ayahku, pergi ke Amerika. Amerika? Nampaknya rencana itu tidak terlalu buruk, disana aku dapat bersekolah sekaligus bekerja paruh waktu. Namun bagaimana dengan biayanya? Apa aku harus bekerja pada Tuan Taylor, atau dia yang akan mendanai pendidikanku? Disaat yang bersamaan, jiwaku diterpa cemeruk angin bimbang.
Kuketuk pelan monitor ponsel. Aku hubungi nomor itu, nomor telepon Tuan Taylor. Sejenak menanti, ia pun membalas suara dariku.
“Jadi kau Galih? Anak tunggal Arya Santoso?” ucap Tuan Taylor di tengah percakapan, “Oke, jadi sekarang kau dimana? Aku akan menjemputmu.”
“Maaf, tidak perlu repot-repot. Aku saja yang kesana.”
“Kau duduk manis saja!” sanggahnya cepat. Dia yang akan menolongku, namun malah ia yang datang menghampiri. Dan sungguh, tampaknya ayahku mempunyai mitra yang baik.
Sambil menanti Tuan Taylor, aku terduduk lemas di bangku depan wajah restoran. Keramaian restoran menyulutkan perhatianku. Dulu aku sering kemari, makan bersama ayah dan ibuku. Tapi semua itu hanyalah memori manis, yang dapat kusiar berulang-ulang dalam display ingatanku.
Guruh suara mobil menyeruak dahsyat, sontak mengejutkanku. Mobil mewah itu bertengger, angkuh tepat di depan tatapan sayuku. Seseorang menyembul dari balik pintu, ia tampak eksekutif, berjas hitam layaknya direktur. Tapi, apakah itu memang Tuan Taylor? Namun mengapa wajahnya tidak seperti bule, bahkan amat kental berparas Indonesia.
Ternyata ia memang bukan Tuan Taylor, melainkan kaki tangannya. Wajar bila dia menyuruh anak buahnya, dia kan orang sibuk, mana mungkin mau menjadi supir penjemput. Tanto namanya, supir pribadinya Tuan Taylor. Pria berparas Jawa bertahi lalat di bawah matanya itu tersenyum padaku, tanda menyambutku untuk segera masuk kesana, ke dalam mobil merah elite itu.
Sepanjang perjalanan, pandanganku terpusat pada julangan gedung-gedung menawan. Terkadang mataku menyorot kilapan kaca bangunan. Terpantul jelas kilauan ingatanku di masa lampau. Masa lalu yang begitu angkuh, yang selalu menggenggam sifat egois. Teringat ketika dulu, aku tak mudah untuk menjenjangkan sikap hormat kepada orang lain, bahkan orang yang lebih tua sekalipun. Aku juga tak mau berbaur dengan orang miskin, dan kini kusadar bahwa akulah yang miskin hati.
Waktu mencelat ibarat kilat. Aku telah termangu di sofa besar ini selama satu jam. Tengah menunggu Tuan Taylor dari kursi meeting yang dilaksanakan di ruangan lainnya. Sejenak menanti, hentakan kakinya terdengar dari luar. Tanda ia akan segera kembali ke bangkunya, kursi kebesaran yang kini bersangga di depan pandanganku.
Kami mengocok salam tangan, saling duduk di perut bangku. Setelah perbincangan yang begitu menguras ucapan, aku pun mulai menggambarkan sosoknya yang amat kebapak-bapakkan. Mungkin inilah alasan kenapa papaku menyerahkanku padanya. Kubaca dari parasnya, ia dapat menyimpan semua kepercayaan.
“Benarkah? Jadi itu satu-satunya cara untuk dapat pergi ke Amerika?” tanyaku lantang, “Aku harus mengikuti ujian rekomendasi beasiswa?”
“Tentu, aku telah membuat surat rekomendasi untukmu. Jadi, kuharap kau dapat lolos dalam seleksi ini. Ini juga membuktikan bahwa kau memang layak untuk bersekolah disana.” tambah laki-laki berambut pirang kecoklatan, berkulit pucat, dan punya mata yang lebar itu.
“Baiklah, akan aku persiapkan semuanya. Aku yakin, aku mampu untuk bersekolah disana!” balasku nyaring, sambil mengoarkan semua kepercayaan diri.
Inilah kocokan pertama, sebuah julangan dadu agar aku dapat melangkah. Kuharap, aku dapat berpijak di atas lahan yang baik. Sebuah lahan baru yang akan memakmurkanku. Terlebih, membuatku dapat membayar lunas semua hutang-hutang keluargaku.
***
Mataku mendelik, saat pandanganku berlabuh di depan mading sekolah. Hatiku berdebar keras, kala menyadari bahwa namaku tidak terpampang disana. Aneh, bagaimana bisa aku gagal, padahal aku yakin telah mengisi sebagian besar soal dengan benar. Mana mungkin ini terjadi? Benarkah aku gagal?
Sekali lagi, kucermati lembar demi lembar kusam pengumuman itu. Namun, setelah menjelajahi begitu lama, tak jua kudapati namaku tertera disana. Batinku gusar, aku tak memiliki banyak kekuatan untuk berhadapan dengan Tuan Taylor. Bagaimana bisa aku bermuka tebal, tanpa malunya sedikitpun menghidangkan wajahku di hadapannya. Maaf, aku belum bisa membalas semua kepercayaan yang telah kau berikan.
Segurat bayangan mendekat, tatapanku pun beralih ke arahnya, “Oh, Tuan.” ucapku gemetar, “Maaf,..aku gagal ujian ini.”
“Tidak apa-apa.” dalih Tuan Taylor padaku, “Kau tetap bisa ke Amerika. Bila Plan A gagal masih ada Plan B. Aku akan membiayai kuliahmu.”
“Tapi...”
“Huss, sudahlah. Jika ingin membalasku kau harus bekerja padaku. Bagaimana? Kau berjanji?” tanyanya sambil melempar senyum kecil.
“Janji?” hentakku tidak mengerti.
“Ya, apapun yang terjadi kau harus berpihak padaku. Dan ini adalah janji antar pria, kau tak boleh melanggarnya!” tukasnya sembari menyeringai lebar.
“Baik, aku janji!” seruku dengan setuju, ia pun kembali tersenyum padaku.
Perjanjian inilah, sebuah ucapan yang mengikat keduanya, antara aku dan Tuan Taylor. Sekaligus menjadi kesempatan pertama bagiku. Kesempatan untuk menang, dalam melawan semua permasalahan yang mendera keluargaku. Benar, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Sebelumnya - Prolog 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini dia, Cerita Pendek (Cerpen) terpendek di dunia!

Melihat pembunuhan massal, anak ini justru gembira

Kaktus/Sekulen Lucu, Bagus Untuk Hadiah