Butik Batik Batak



Butik Batik Batak

 All About Novel - Kilatan cahaya senja menyeruak dari segumpal awan hitam. Lalu membelah awan putih yang berada di bawahnya. Awan hitam pekat itu kemudian menangis dan membasahi bumi dengan begitu hebatnya. Seorang anak berlari tanpa atap pelindung tubuh, lalu menembus guyuran hujan. Anak itu mencoba melawan sang alam untuk segera pulang ke pondoknya. Baju batik yang membalut tubuhnya basah kuyup. Sesampainya di rumah ia berganti pakaian. Baju batik lainnya menghiasi tubuhnya yang kedinginan. Di kamar, dia merebahkan badan di ranjang bambu beralaskan tikar untuk memulihkan diri. Ia pejamkan mata dan tertidur.
Bunyi ayam berkokok membangunkannya dari mimpi indah. Pagi yang buta mengantarkannya melangkah menyusuri rerimbunan hutan. Di sana dia mencari kayu bakar. Seperti itulah keseharian Tiur, seorang gadis kecil yang tinggal di sebuah desa di pesisir barat Sumatera Utara. Kemiskinan hampir membuatnya terengut dari sekolah. Seperti kayu yang dibakar oleh api, semangatnya untuk menuntut ilmu tak pernah padam.
Ketika sang surya berada tepat di atas kepalanya, dia pun beranjak pulang karena kayu yang dia kumpulkan sudah mencukupi. Langkah kakinya menyusuri semak belukar yang tampak hendak memangsanya. Betul saja, sebuah duri dari suatu batang belukar berhasil menembus telapak kakinya. Tetesan darah membasahi kakinya. Dia berhenti sejenak, lalu duduk di batang pohon yang tumbang. Wajahnya meringis menahan nyeri. Ujung lengan baju batiknya dirobek, lalu ia balutkan pada kakinya yang luka. Beberapa saat kemudian ia bangkit dan tak memperdulikan lagi kayu bakar yang telah dengan susah payah dikumpulkan. Kemudian berjalan dengan terseok-seok menuju rumah.
Ketika sang mentari kembali keperaduannya, Tiur baru kembali ke rumah. “Dari mana saja kau…? Kenapa baru pulang?” ucap ibundanya bernada khawatir.
Tiur tak berkata apapun. Lalu ibundanya melihat kaki Tiur yang berdarah.
“Ya ampun, Tiur ...,” teriak ibundanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ibunda Tiur kemudian mengambil obat luka dan mengobati anaknya yang semata wayang itu. Sambil tiduran di pangkuan ibundanya, Tiur menceritakan kejadian yang menimpanya.
“Inong, maafkan Tiur ya…Tiur tak dapat membawa kayu bakar untuk djual.” Ibundanya menatap dan berkata lembut. “Tiur, anakku…tak mengapa, yang penting kau pulang dalam keadaan tak kurang satu apapun….”
Ibundanya menasehati agar Tiur lebih berhati-hati dan meminta anaknya agar esok tak usah pergi ke sekolah. Namun Tiur bersikeras untuk bersekolah. Ibunda Tiur bekerja sebagai pengrajin batik. Setiap ada kain yang telah selesai dibatik, ia meminta kepada Tiur untuk dibawa ke pasar. Sudah dua pekan ini pergelangan tangannya luka akibat terjatuh, maka dari itulah Tiur membantu ibundanya dengan mengumpulkan kayu bakar. Seringkali ketika kain batik tidak laku terjual, ia menjual kayu bakar ke pasar dengan harga murah. Seperti inilah pahitnya kehidupan setelah kepergian ayahanda.
Ketika mentari masih terlelap dalam tidurnya, Tiur berangkat menuju sekolah. Karena tidak ada uang untuk naik perahu, ia harus menempuh jarak yang lebih jauh menelusuri hutan. Dia melangkah penuh kehati-hatian. Saat berada di tengah jalan tiba-tiba tubuhnya limbung dan akhirnya terjatuh. Noda lumpur mengotori rok merahnya. Seketika itu juga ia panik. Ia dihadapkan pada dua pilihan, pulang atau melanjutkan perjalanan. Tiur memutuskan pergi sekolah, tetapi roknya yang kotor membuatnya bingung. Lalu ia membuka tas untuk mencari sesuatu. Untung ada kain batik yang ia bawa untuk dijual. Ia kenakan kain itu menggantikan roknya yang ternoda.
Tiur tiba ketika bel sekolah usai bersenandung. Sekolahnya memang sangat jauh dari rumahnya. Ia menempuh beberapa kilometer dengan berjalan kaki. Sekolahnya terletak di pinggiran kota. Kebanyakan dari muridnya berasal dari kota, sebagian kecil satu desa dengan Tiur. Sekarang dia menginjak tahun keenam bersekolah di sana.
Tiur masuk ke kelas. Teman-temannya menatap dengan keheranan karena Tiur menggunakan batik. “Dia tak berpakaian sekolah, jangan biarkan masuk…,” ujar seorang temannya. Tiur pun menceritakan pada gurunya alasan ia menggunakan kain batik ke sekolah. Gurunya memaklumi apa yang terjadi pada Tiur dan memperkenankan mengikuti pelajaran.
Di sekolah Tiur menjadi bahan olok-olok temannya. Seringkali ia dicerca dengan kata-kata “kampungan”.
            Bel berteriak pada penghuni sekolah, menandakan pelajaran telah usai. Sepasang mata dari kejauhan menatap tajam ke arah Tiur yang sedang mengayunkan langkah meninggalkan sekolah. Mata itu memandang kain yang dikenakan oleh Tiur dengan decak kagum. Motif batik dengan corak etnik yang sangat indah membuatnya takjub. Kemudian orang itu menghampiri Tiur yang tampak lesu.
            Setelah perbincangan hangat antara Tiur dan seorang gadis muda bernama Allen usai, Allen berkehendak mengunjungi rumah Tiur. Allen adalah seorang reporter acara “Culture Travelers” dari Amerika Serikat yang saat ini meliput kebudayaan Batak. Dia bersama timnya berkeliling dunia hingga tiba di Sumatera Utara. Dia acapkali mengunjungi daerah-daerah di Indonesia dan mengangkat budaya asli berbagai suku. Oleh karena itu ia fasih berbahasa Indonesia. Sepanjang perjalanan pulang Tiur disorot oleh kamera. Mereka melewati jalur sungai menuju kediaman Tiur. Air sungai yang jernih memantulkan wajah Tiur. Sambil bercermin, terbersit firasat dalam benak Tiur bahwa garis tangan hidup nya akan berubah.
            Ibunda Tiur menyambut ramah kedatangan Allen dan kawan-kawan. Suasana hangat membuat Allen nyaman berada di sana. Lalu Tiur menunjukkan batik-batik hasil karya ibundanya. Di sana terpampang dengan indah berbagai ragam motif batik dalam berbagai bentuk selain kain panjang seperti baju, sarung, tas, dompet dan lainnya.
            “Take the picture now!” ucap Allen kepada kameraman dengan semangat.
            Tiur menjadi narasumber. Wawancaranya dengan Tiur akan disiarkan di sebuah channel televisi terkemuka di USA. Ternyata liputan acara yang dibawakan oleh Allen menjadi sorotan publik. Berita tentang “Batik Batak dari Pesisir Sumatra Utara” yang mulai terlupakan menjadi perhatian masyarakat luas setelah siaran tersebut ditayangkan di televisi lokal.
            Seminggu kemudian seorang ibu setengah baya menghampiri Tiur di sekolah. Dia seorang pengusaha dari Medan. Nyonya Hasiholan terpukau pada batik hasil karya ibunda Tiur. Selama ini nyonya Hasiholan memproduksi busana trend masa kini. Ia belum pernah menggunakan corak ‘tradisional’. Ketika mengamati bahwa batik Batak memiliki motif yang beranekaragam dan sangat indah, terbersit ide untuk untuk menambahkan corak etnik Batak.
            Nyonya Hasiholan yang juga berasal dari suku Batak, kini sadar betapa indahnya budaya asli negerinya setelah menyaksikan berbagai kreasi batik di rumah Tiur. Ia semakin yakin untuk melestarikan warisan leluhurnya. Dia memutuskan memberikan modal kepada ibunda Tiur agar usaha yang dijalankannya berkembang.
Dua tahun kemudian, usaha batik ibunda Tiur mencapai puncaknya. Benih ketekunan, kerja keras dan kesabaran yang telah ditabur kini berbuah manis. Untuk memajang hasil karyanya, didirikanlah sebuah butik di pusat kota. Atas usul Tiur butik tersebut diberi nama “Butik Batik Batak”. Karya ibu Tiur terkenal di seantero kota Medan. Apalagi display di butik tersebut dibuat semenarik mungkin yang merupakan ide cemerlang Tiur. Di tahun ketiga, butik yang dijalankan ibundanya sudah menjamur di berbagai kota. Firasat Tiur kini benar-benar menjadi nyata, kehidupan mereka sekarang sudah berubah. Walaupun sudah hidup layak, namun Tiur tidak berbesar diri. Ia tetap bersahaja meskipun kini ibundanya menjadi pengusaha sukses dan dia telah menjadi seorang model.
Awal tahun ini, Tiur dinobatkan menjadi “Duta Batik Cilik”. Sudah banyak lomba busana yang ia ikuti dan tak sedikit yang telah ia menangkan. Tetapi ia paling antusias jika mengikuti lomba atau peragaan busana batik. Dia disukai banyak orang karena keramahan, tutur kata yang lembut dan santun serta kesederhanaannya. Melalui Tiur, seorang gadis kecil yang berasal dari pelosok desa nun jauh di pesisir barat Sumatra Utara, berkembanglah budaya asli Indonesia. Batik Batak semoga tetap lestari di bumi pertiwi.

Ket. :
Inong = Ibu (bahasa Batak)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini dia, Cerita Pendek (Cerpen) terpendek di dunia!

Melihat pembunuhan massal, anak ini justru gembira

Kaktus/Sekulen Lucu, Bagus Untuk Hadiah